BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dosen
adalah salah satu komponen esensial dalam suatu sistem pendidikan di perdosenan
tinggi. Peran, tugas, dan tanggungjawab dosen sangat penting dalam mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan
kualitas manusia Indonesia, yang meliputi kualitas iman/takwa, akhlak mulia,
dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mewujudkan
masyarakat Indonesia yang maju, adil, makmur, dan beradab. Untuk melaksanakan
fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis tersebut, diperlukan dosen
yang profesional.
Sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Dosen, dosen
dinyatakan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat (Bab 1 Pasal 1 ayat 2). Sementara itu, profesional dinyatakan
sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.
Kompetensi
tenaga pendidik, khususnya dosen, diartikan sebagai seperangkat pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai dan
diwujudkan oleh dosen dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kompetensi
tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial dan kompetensi profesional. Tugas utama dosen adalah melaksanakan
tridharma perdosenan tinggi dengan beban kerja paling sedikit sepadan dengan 12
(dua belas) sks dan paling banyak 16 (enam belas) sks pada setiap semester
sesuai dengan kualifikasi akademik. Sedangkan profesor atau dosen besar adalah
dosen dengan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi dan mempunyai
tugas khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarkan luaskan gagasannya
untuk mencerahkan masyarakat. Pelaksanaan tugas utama dosen ini perlu
dievaluasi dan dilaporkan secara periodik sebagai bentuk akuntabilitas kinerja
dosen kepadapara pemangku kepentingan.
Kompetensi
dosen menentukan kualitas pelaksanaan Tridharma Perdosenan Tinggi sebagaimana
yang ditunjukkan dalam kegiatan profesional dosen. Untuk menjamin pelaksanaan
tugas dosen berjalan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam peraturanperundang‐undangan
maka perlu dievaluasi setiap periode waktu yang ditentukan. Buku Pedoman ini
dimaksudkan untuk memberikan arah dan tatacara penetapan Beban Kerja Dosen Dan
Evaluasi Pelaksanaan Tridharma Perdosenan Tinggi Tahun 2010.
B.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengembangan kinerja dosen dan prosesnya
2.
Untuk
mengetahui tugas dosen dalam pembelajaran
3.
Untuk
mengetahui tugas dosen dalam pengembangan profesi
4.
Untuk
mengetahui implikasi pengembangan kinerja dalam meningkatkan mutu pendidikan
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengembangan
Kinerja Dosen Dan Prosesnya
Pengembangan
SDM memiliki dua konsep. Pertama, adalah konsep normatif dan kedua, konsep
teknis. Konsep normatif berkenaan dengan fungsi-fungsi dasar yang harus ada
dalam kehidupan manusia dan menjadi patokan ideal untuk pelaksanaan konsep yang
lebih implementatif (konsep teknis). Sedang konsep yang kedua, konsep teknis,
adalah berkaitan dengan implementasi konsep pertama yang bersifat conditioning
dan kasuistis. Kedua konsep itu selanjutnya mendasari pendekatan kajian
pengembangan SDM pada praktek manajemen perdosenan tinggi dalam tulisan ini.
Manajemen
pendidikan memasukan pengem-bangan (development) sebagai salah satu
fungsi dalam manajemen SDM, adapun fungsi yang lain, adalah: planning,
recruetment, selection, induction, appraisal, conpetation, continuity,
security, bargaining, information (Castetter, 1981, 51). Tujuan dari
pengembangan, adalah meningkatnya kinerja (performance) guna tercapainya
efisiensi, efektivitas dan pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas.
Hal itu selaran dengan pendapat yang dikemukakan Castetter (1981:272) dan
Curtis R. Finch (1982:136).
Adapun
kinerja, yang menjadi tujuan "pengembangan", diartikan secara luas
oleh Borg (1979:608) sebagai, "The actual program is put into operation",
merupakan variabel dependent yang signifikan mempengaruhi baik secara parsial
maupun serempak. Adapun kinerja pada dasarnya terbentuk dari kemampuan (ability)
dan kemauan (motivation). Dengan
demikian "pengembangan" dalam konteks tulisan ini adalah, "Upaya
sistematis untuk memberdayakan komponen SDM perdosenan tinggi melalui tindakan
optimal terhadap faktor-faktor pembentuk produktivitas kinerja individu maupun
kelompok". Hal di atas selaras dengan pendapat Castetter (1982:275), yang
menyatakan, pengembangan harus dipandang sebagai kegiatan untuk meningkatkan
kemampuan perseorangan agar lebih bertanggungjawab dalam sistem.
K
I
N
E
R
J
A
|
Kemampuan
Kemauan
|
Keterampilan
Pengetahuan
Pemenuhan Kebutuhan
Kondisi Kerja
|
Kecakapan ,
Kepribadian
Diklat,
Pengalaman,
Minat
needs of:
achivement,
power,
affiliation
Struktur
Organisasi,
Dinamika
Kelompok,
Kepemim-
pinan, Budaya
Organisasi
|
Efisiensi,
efektivitas dan produktivitas merupakan konsep yang berlainan, walaupun
ketiganya memasukan unsur input dan output dalam mekanisme teknis
penganalisasiannya. Secara sederhana ketiganya dapat dibedakan, efisiensi
berorientasi pada input, dan efektivitas berorientasi pada output,
sedang produktivitas berorientasi pada keduanya. Dengan demikian dapat
dikatakan produktivitas memiliki makna yang lebih luas dibanding dua konsep
yang lainnya. Dalam mengukur produktivitas dapat dilakukan dengan dua cara, (a)
pendekatan produktivitas total atau faktor ganda, yakni output
dihadapkan dengan keseluruhan input yang dipakai, (b) pendekatan parsial
atau faktor tunggal, yakni output dihadapkan dengan satu input saja,
misal, input SDMD dalam konteks manajemen perdosenan tinggi.
Seperti
dikemukakan terdahulu, dosen memiliki posisi strategis dalam menentukan mutu
lulusan maupun mutu kelembagaan secara umum. Dosen, beda halnya dengan tenaga
kependidikan pada lembaga pendidikan dasar dan menengah, memiliki kewenangan
atau otoritas yang lebih dominan dalam proses "mengolah" peserta
didik. Hampir tidak ada pengendalian yang cukup berarti dalammekanisme
kelembagan untuk menditeksi atau mengkritisi "performa" dosen dalam
proses pembelajaran, maka sehubungan dengan itu berlaku adagium, "demikian
mutu dosen, demikian pula mutu lulusan".
Dosen juga
menjadi parameter penting dalam proses pengendalian kelembagaan pendidikan
tinggi, khususnya di PTS. Jenjang kepangkatan dan pendidikan dosen dijadikan
pedoman pokok, disamping rasio kelulusan, dalam mekanisme akreditasi. Dengan
demikian memikirkan upaya pengembangan mutu dosen harus menjadi obsesi setiap
pengelola pendidikan tinggi.
Walau ukuran
mutu itu bersifat relatif, akan tetapi pada dasarnya mutu tenaga pengajar di
perdosenan tinggi dapat dilihat dari produktivitas pelaksanaantri darma, yakni:
pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Secara
normatif ketiga hal itu pada umumnya dapat dilihat dalam: (a) jenjang
pendidikan, dan (b) jabatan fungsional. Untuk melihat kedua hal itu ada baiknya
kita teropong bagaimana kondisi objektif sumber daya dosen ini.
Contoh
kasus, suatu universitas dengan memiliki 10 orang dosen tiap jurusan, dilihat
dari sisi kuantum jumlah dosen tetap, sudah "cukup" untuk menjalankan
kegiatan akademik. Hal ini dapat dielaborasi, dengan asumsi setiap dosen
membina mata kuliah sebanyak 8 SKS., 4 SKS. lainnya untuk bidang lainnya, atau
3 mata dalam satu semester maka dalam satu tahun setiap dosen memiliki tugas
mengajar 16 SKS atau 6 mata kuliah. Dengan jumlah rerata setiap jurusan
memiliki beban studi 160 SKS atau 60 matakuliah. Maka yang dibutuhkan oleh
setiap jurusan hanya 10 orang dosen saja. Dengan catatan proses rekruetmennya
benar dan dosen yang ada terdistribusi secara baik.
Jumlah itu
semakin longgar lagi, bila diperhitungkan, dosen tetap hanya mendukung
kurikulum inti yaitu 60% dari 160 sks = 96 sks. Sedangkan muatan lokal sebanyak
40% dapat diserahkan kepada dosen luar biasa sebagai "tenaga
praktisi" yang menjembatani mahasiswa dengan dunia kerja.
Untuk
menjustifikasi kesimpulan di atas perlu didukung oleh seperangkat aturan yang
mengarah pada deregulasi pengelolaan pendidikan tinggi, disamping kaji ulang
terhadap ketentuan-ketentuan yang justru tidak akomodatif terhadap sistem
akademik yang berlaku, misal penetapan "rasio" Mahasiswa dengan
Dosen. Angka 10 itu kemungkinan belum final, karena hal yang penting, adalah
dosen-dosen itu memiliki "kewenangan akademik" baik dilihat dari
jenjang pendidikan maupun jabatan fungsional. Sehingga seluruh dosen yang ada
dapat berfungsi secara optimal. Kewenangan profesi ditentukan oleh kedua oleh parameter
mutu dosen tersebut, walau dalam praktek keadaan tersebut dapat diatasi dengan
kehadiran dosen luar biasa, namun masalah ini perlu disikapi secara serius.
Apalagi belum seluruh dosen luar biasa, juga memiliki kompetensi yang memadai,
baik dilihat dari jenjang pendidikan, jabatan fungsional maupun kemampuan
profesional.
Dari kondisi
seperti itulah maka konsep "pengembangan" menjadi lebih relevan untuk
dibicarakan. Konsep pengembangan melihat aspek kualitatif lebih penting
ketimbang aspek kuantitatif. Dengan demikian permasalahan pengembangan
dosen adalah terletak pada upaya pemberdayaan komponen dosen sehingga memiliki
kontribusi optimal terhadap penciptaan mutu proses dan hasil akademik.
1.
Bentuk
Pengembangan
Pada dasarnya program "pengembangan"
didasari oleh prinsip terpenuhinya dua (2) harapan pokok, yakni: (a)
meningkatnya kontribusi individu selaras dengan harapan manajemen universitas,
(b) terpenuhinya kebutuhan dosen, kerja dan individual, dari manajemen universitas.
Jalinan simbiose conditio sine quanon dalam setiap upaya pengembangan.
Pengembangan dalam kaitan itu dapat diklarifikasikan
ke dalam beberapa sub pengembangan, yaitu:
a.
Pengembangan Kompentensi (knowledge,
performance, and consequence)
b.
Pengembangan Disiplin Kerja
c.
Pengembangan Semangat Kerja
d.
Pengembangan Karier dan
Kesejahteraan
Pertama, pengembangan kompentensi, berhu-bungan dengan
peningkatan kemampuan: menguasai bahan, mengelola program pembelajaran, memilih
dan menngunakan media dan sumber belajar, menguasai landasan kependidikan,
mengelola kelas, mengelola interaksi pembelajaran, menilai prestasi hasil
pembelajaran, melaksanakan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan,
menyelenggarakan administrasi pendidikan, memahami prinsip dan menafsirkan
hasil penelitian pendidikan untuk pembelajaran, mengembangkan pengetahuan
dengan metoda ilmiah, mempublikasikan dan menerapkan pengetahuan, dan
mengembangkan diri. Upaya yang didapat dilakukan untuk itu, antara lain:
Asistensi (Assistenships), Pertemuan dosen (Lectures Confrences),
Seminar (Seminars), Bimbingan diskusi (Guided discussions),
Lokakarya, Program Intruksional (Programmed Inntructions), Tugas khusus (Special
Assignments), Pelatihan (coaching), Proyek penelitian (Research
Projects), Kursus (Courses), dan lain sebagainya.
Dari gambaran kompetensi di atas, tergambar bahwa
dosen adalah profesi dengan menggambarkan pada dua kemampuan dasar, yakni: (a)
kemampuan keilmuan, (b) kemampuan untuk mentransfer ilmu atau kependidikan.
Dalam kapasitas sebagai ilmuwan, pengembangan karir cukup jelas yakni melalui
program-program pasca sarjana bidang studi. Sedang mengembangkan diri dalam
kapasitas sebagai pendidik dirasakan sangat kurang, setelah program akta V
ditiadakan. Dosen yang ada saat ini kecuali di IKIP atau FKIP, tidak pernah
disiapkan secara sistematis menjadi pendidik. Sementara program pengembangan
secara sistimatis belum dapat dilaksanakan secara melembaga untuk PTS. Sehingga
akibatnya mudah diduga kinerja dosen menjadi sangat rentan manakala harus
berhadapan dengan fenomena "kelas" yang dinamis.
Setiap PTS dituntut ber-improvisasi untuk
mengatasi hal tersebut, akan tetapi masalahnya, tidak semua PTS memiliki
kemampuan yang sama dalam melaksanakan usaha-usaha pengembangan seperti yang
dikemukakan di atas. Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala dalam mencapai
hasil pengembangan yang optimal, diantaranya adalah :
a.
Terbatasnya alokasi anggaran untuk
program pengembangan, karena masih tingginya kebutuhan dana untuk kebutuhan
primer lembaga, misal: pengadaan gedung, gaji, dlsb.
b.
Motivasi profesi SDM rendah yang
disebabkan belum memadainya imbalan tugas, sehingga rendah pula motivasi untuk
mengembangkan diri dalam profesi. Mereka lebih senang mengembangkan diri di
luar profesi, sehingga berkembang ungkapan: Dosen Biasa di Luar sebagai plesetan
dari Dosen Luar Biasa.
c.
Kebijakan manajemen dalam
pengembangan kurang tersosialisasikan secara baik.
- Sistem rekruetmen sering mengabaikan standar mutu.
Hasil akhir dari upaya pengembangan
kemampuan kompetisi adalah, meningkatnya kemampuan nalar (cogniti criterion)
dalam bidang keilmuan masing-masing, kemudianmembaiknya perilaku (performan
criterion) dalam proses pembelajaran, serta mengarahnya mutu hasil belajar
peserta didik (product criterion).
Kedua, pengembangan disiplin kerja,
diarahkan pada konsistensi individu dalam memahami, menghayati, melaksanakan,
dan memasyarakatkan ketentuan berprilaku dalam sistem kelembagaan.
Pensosialisasian berbagai ketentuan dan aturan mengenai disiplin harus dilakukan.
Ketentuan yang tidak diketahui sering menyebabkan pelanggaran atas disiplin
kerja dosen. Misal, beban tugas dalam bentuk satuan kredit semester (SKS) dalam
prakteknya belum banyak dipahami baiok oleh pimpinan maupun dosen. Sering
dipertanyakan, bila tidak datang ke kampus karena mengadakan bimbingan skripsi
di rumah, apakah termasuk pelanggaran disiplin ? atau membimbing skripsi
haruskah selalu di kampus ?, bila ya, adalah fasilitas yang memadai untuk
terjadinya interaksi yang baik dalam proses bimbingan itu. Dalam prakteknya
sebagai PTS belum mampu memberikan fasilitas yang memadai untuk kegiatan
perkuliahan sekalipun, apalagiuntuk kegiatan diluar itu, walau masih
dalamkerangka kegiatan akademis.
Ketiga, pengembangan semangat kerja,
memiliki karakteristik yang berlainan dengan pengembangan disiplin kerja.
Semangat kerja berkaitan dengan ketulusan hati harena adanya kepuasan kerja
sebagai akibat terpenuhinya kebutuhan dasar dari pekerjaan yang dilakukan.
Kehadiran, kelambanan, antusisme, kerjasama merupakan indikator-indikator
penting untuk mengukur semangat kerja.
Semangat kerja sangat ditentukan
oleh adanya harapan masa depan, sementara keberlangsungan PTS masih sulit
dibayangkan. Kakhawatiran itu ditunjukan oleh hal-hal diantaranya: (a) Maraknya
PTS saat ini lebih banyak disebabkan akibat langsung dari "baby
boom" di tahun 70-an, (b) banyak lembaga pendidikan di tingkat dasar
dan menengah yang ditutup belakangan ini, sebagai ciri berakhirnya "baby
boom" di tahun 80-an, (c) Munculnya PTS-PTS baru sebagai pesaing,
malah belakangan ini munculnya pesaing dari pemodal kuat, (d) Membengkaknya
jumlah pengangguran terdidik akan mengakibatkan turunnya wibawa PT. Hal-hal di
atas sering menyebabkan para dosen untuk mencari kemungkinan lain berupa
penetapan profesi lain sebagai sampingan, dan tentu saja hal ini sangat
berpengaruh terhadap konsentrasi dan etos kerja.
Keempat, pengembangan karir dan
kesejahteraan, pengembangan ini sangat dibutuhkan dalam mendukung usaha-usaha
pengembangan sebelumnya. Pengembangan ini memiliki fungsi pemeliharaan atas
upaya-upaya yang dilakukan dalam pengembangan-pengembangan sebelumnya. Harus
diakui penghargaan berupa kesejahteraan untuk profesi pengajar umumnya,
khususnya dosen, masih belum menggembirakan.
Pengembangan karier dosen dapat
dilakukan melalui jalur pendidikan lewat pasca sarjana atau kenaikan jabatan
fungsional. Dosen PTS sedikit kurang beruntung dibanding dosen di PTN. Dosen
PTN untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana, ataupun untuk melakukan
penelitian dan pengabdian masyarakat dalam rangka peraihan angka kumulatif guna
syarat kenaikan pangkat, disediakan dana lewat anggaran perdosenan tinggi dari
APBN atau pinjaman luar negeri. Sedang dosen PTS tidak semua memiliki
kesempatan untuk itu, sedang mereka pun dituntut untuk melakukan hal yang
serupa dengan dosen PTN bila ingin mengembangkan kariernya. Artinya dosen PTS
harus menguras koceknya sendiri atau mencari sumber dana yang lain, manakala
anggaran PTS belum memadai untuk kebutuhan itu. Untuk kepentingan ini tampaknya
pihak yayasan dapat berperan lebih proaktif lagi dalam menjaring sumber dana
dari luar.
Keberhasilan pengembangan SDMD
sangat tergantung sinergi dari unit yang ada dalam struktur internal PTS, yang
terakomodasi dalam suatu tatanan kendali sistem manajemen yang ter-sentralize
dimana setiap unit memiliki komitmen yang kuat untuk mendukungnya. Kemudian
peran yayasan perlu ditempatkan dalam posisi yang lebih profesional sebagai
badan penyelenggara pendidikan dengan berbagai konsekwensinya. Selain itu sudah
saatnya ekspansi eksternal dikurangi dengan penyederhanaan aturan atau
dilaksanakan deregulasi dalam pengelolaanpendidikan tinggi, hal ini menyebabkan
PTS menjadi lebih adaptif dengan lingkungan dan tantangan yang dihadapi.
Proses manajemen Kinerja
Manajemen kinerja merupakan suatu proses sistematis, terdiri dari
langkah-langkah yang mencakup perencanaan kinerja, riview dan diskusi kinerja,
evaluasi kinerja dan tindakan adaptif dan korektif untuk mengembangkan strategi
dalam mengatasi gap/kesenjangan kinerja (Ainsworth, et al, 2002:31). Proses
manajemen kinerja melakukan pendekatan yang bersifat menyeluruh (holistik)
untuk mengelola kinerja yang menjadi kepentingan organisasi, karena manajemen
kinerja bersangkutan dengan masalah pengelolaan semua sumber daya dalam
organisasi yang menjadi masukan, proses pelaksanaan kinerja, hasil kinerja, dan
manfaat serta dampak dari suatu kinerja (Wibowo, 2007:18). Dengan demikian
manajemen kinerja mencakup suatu proses pelaksanaan kinerja, tentang bagaimana
kinerja dijalankan.
Dengan demikian,
manajemen kinerja merupakan suatu proses yang berkesinambungan, melakukan
pengembangan dan perbaikan secara berkelanjutan atas kinerja, disamping
keterkaitannya dengan penciptaan budaya dimana pembelajaran dan
pengembangan organisasi dan individu. Proses tersebut sudah tentu terdiri dari
langkah-langkah yang menurut Ainsworth, et al., (2002:32) langkah-langkah
tersebut merupakan suatu siklus yang berjalan secara terus menerus, yang bila
digambarkan nampak sebagai berikut :
Performance Planning
|
Corrective and adaptive action
|
Regular review and discussion of performance
|
Evaluate performance
|
Formal
performance review discussion (include self-assesment annually
|
Identify
performance improvement and development needs and agreed on improvement and
development plan annually
|
Action
taken to achieve individual goals and targets
|
Action
taken to implement performance improvement and development plan
|
Establish, agree to and commit to performance
objectives, goals and targets annually
|
Mutually
review progress against objectives on an agreed regular basis quarterly
|
Reward
|
Regular feedback
|
Regular feedback
|
Regular feedback
|
Regular feedback
|
Gambar 5.3. The
Performance Management Cycle
(Sumber:
Ainsworth, et al., 2002:32)
Perencanaan
kinerja merupakan tahapan awal yang dilakukan dalam Manajemen kinerja. Dalam
tahapan ini tujuan dan target kinerja ditentukan melalui komunikasi yang
efektif antara pimpinan dengan pegawai/karyawan. Dalam perencanaan kinerja
dirancang kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi, dan
untuk melakukan hal tersebut, menurut Wibowo (2007:35) diperlukan penyediaan
sumber daya yang diperlukan serta waktu untuk melakukannya.
Setelah rencana
kinerja tersusun dan disepakati bersama oleh pimpinan dengan pegawai, tahapan
berikutnya yang perlu dilakukan dalam manajemen kinerja adalah riview kinerja
serta mendiskusikannya. Riview kinerja ini dimaksudkan untuk melihat apakah
kinerja yang dilakukan pegawai telah sesuai dengan tujuan dan target yang telah
ditetapkan. Tahapan ini dilakukan dengan cara pimpinan dan pegawai
mendiskusikannya dengan mengacu pada rencana kinerja, dan bila ditemukan
berbagai masalah maka upaya pemecahannya dilakukan secara bersama, sehingga
perbaikan yang diperlukan didasarkan pada hasil pemikiran bersama antara
pimpinan dengan pegawai. Riview dan diskusi kinerja sangat penting dalam
rangka mengidentifikasi hambatan yang dihadapi oleh pegawai dalam mencapai
tujuan dan rencana kinerja, mengidentifikasi bantuan apa yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan rencana kinerja serta mengkaji apakah tujuan kinerja yang
ditetapkan masih relevan atau perlu dilakukan penyesuaian (Ainsworth, et.al,
2002:33).
Penyesuaian
dalam manajemen kinerja merupakan hal penting sebagai upaya untuk terus menerus
memperbaiki kualitas kinerja, apalagi jika mengingat pada perubahan lingkungan
organisasi yang amat cepat berubah baik dalam lingkungan internal maupun
eksternal, sehingga adaptasi terhadapnya jelas memerlukan penyesuaian yang cepat
dan tepat, agar organisasi dan kinerja pegawai dapat selalu memenuhi tuntutan
yang berubah tersebut
Evaluasi kinerja
merupakan tahapan penting lainnya dalam manajemen kinerja. Evaluasi kinerja
dapat dilakukan oleh pegawai itu sendiri (self-assessment) maupun oleh
pimpinan. Pimpinan perlu menggali data dan informasi yang akurat berkaitan
dengan kinerja pegawai, dan tahapan riview dapat memberi gambaran akan kondisi
kinerja pegawai, sehingga dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi
penilaian kinerja.
Namun demikian
penyesuaian itu tidak menjadi akhir dari manajemen kinerja, sebab diperlukan
langkah berikutnya yakni evaluasi terhadap kinerja yang telah disesuaikan. Oleh
karena itu tahapan berikutnya adalah tindakan koreksi dan penyesuaian kembali,
dalam tahapan ini tindakan untuk memperbaiki kinerja dengan acuan rencana
menjadi hal penting, namun demikian upaya untuk melakukan penyesuaian kembali
juga perlu dilakukan, dan hal ini akan berkaitan dengan upaya lanjutan dalam
mengembangkan dan meningkatkan kinerja pegawai. Upaya ini perlu dituangkan
dalam suatu rencana pengembangan (development plan) kinerja sesuai dengan hasil
evaluasi dan tuntutan akan peran organisasi yang terus meningkan dalam era
perubahan dewasa ini.
Sementara itu
Lansbury dalam Stone (1991:91) mengemukakan proses manajemen kinerja sebagai
berkut :
Organizational Planning
|
Individual Planning
|
Action to improve performance
of
individual
of the
Organization
|
Appraising and councelling
In
term of performance
In
regard to needs
|
Riview and Evaluation
of
Objective
of
Performance
|
Gambar 5.3. The Process of Performance Management
(Sumber Lansbury dalam Stone
(1991:91)
dari bagan tersebut nampak bahwa pada prinsipnya
proses manajemen kinerjas selalu dimulai dengan tahapan perencanaan kinerja
sebagai dasar untuk melihat, meriview dan mengevaluasi kinerja dan kemudian
upaya-upaya penyesuaian, pengembangan dan perbaikan dilakukan guna mencapai
tujuan dan target kinerja sesuai dengan perencanaan kinerja yang telah
ditetapkan serta tuntutan perubahan yang terjadi baik dalam internal organisasi
maupun dari lingkungan eksternal.
Dalam implementasi Manajemen kinerja, sinkronisasi antara tujuan dan target
kinerja individu dan organisasi menjadi prasyarat penting yang akan menentukan
pada efektivitas manajemen kinerja, apabila terjadi ketidak sinkronan, maka
riview dan evaluasi kinerja akan sulit dilakukan. Bila hal ini tidak dapat
dilakukan maka upaya perbaikan, pengembangan kinerja pegawai tidak dapat
dilakukan, sehingga tujuan dari manajemen kinerja tidak akan tercapai. Oleh
karena itu komunikasi antara pimpinan dan pegawai harus dilakukan secara
berkesinambungan untuk dapat secara dini mendeteksi berbagai kemungkinan
hambatan kinerja individu yang juga akan berdampak pada kinerja organisasi,
sehingga tujuan organisasi tidak dapat dicapai
A.
Tugas Dosen
Dalam Pembelajaran
Tugas pokok dosen dalam proses belajar-mengajar (PBM)
1.
PLANNER (PERENCANA)
a.
Tujuan Pembelajaran
b.
Analisis Instruksional
c.
GBPP & SAP
d.
Kontrak / Rencana Perkuliahan
e.
Bahan Ajar
2.
AKTOR (PELAKSANA)
a.
Mengajar
b.
Membimbing (skripsi, wali, PKL, dll)
c.
Motivator
3.
EVALUATOR
a.
Hasil Belajar mahasiswa
b.
Proses Belajar-Mengajar
4.
Landasan hukum penetapan Beban Kerja Dosen
Dan Evaluasi Pelaksanaan Tridharma
Perdosenan
Tinggi adalah sebagai berikut.
a. Undang‐Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
b. Undang‐Undang
Nomor Republik Indonesia 14 Tahun 2005 t~ntang Dosen dan Dosen
c. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
d. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perdosenan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik
Negara (BHMN)
e. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
f. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen
g. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan
h. Profesi
Dosen dan Dosen, Tunjangan Khusus Dosen dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor
i.
Peraturan Mendiknas Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2009 tentang Sertifikasi
Pendidik
Untuk Dosen
j.
Surat Keputusan Menkowasbangpan Nomor 38
Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional
Dosen
dan Nilai Angka Kreditnya
k. Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen PendidikanDan Kebudayaan
Republik Indonesia No. 48/D3/Kep/1983 Tentang Beban Tugas Tenaga Pengajar Pada
Perdosenan Tinggi.
5.
Tujuan
Evaluasi
tugas utama dosen bertujuan untuk (1) meningkatkan profesionalisme dosen dalam
melaksanakan tugas, (2) meningkatkan proses dan hasil pendidikan (3) menilai
akuntabilitas kinerja dosen di perdosenan tinggi (4) meningkatkan atmosfer
akademik disemua jenjang perdosenan tinggi dan (5) mempercepat terwujudnya
tujuan pendidikan nasional.
6.
Prinsip
Evaluasi Tugas Utama Dosen
Prinsip
penetapan Beban Kerja Dosen Dan Evaluasi Pelaksanaan Tridharma Perdosenan
Tinggi adalah sebagai berikut.
a.
Berbasis evaluasi diri
b.
Saling asah, asih dan asuh
c.
Meningkatkan profesionalisme dosen
d.
Meningkatkan atmosfer akademik
e.
Mendorong kemandirian perdosenan tinggi
Kegiatan
Evaluasi Pelaksanaan Tridharma Perdosenan Tinggi dimulai oleh dosen dengan
membuat evaluasi diri terkait semua kegiatan yang dilaksanakan baik pada bidang
(1) pendidikan dan pengajaran, (2) penelitian dan pengembangan karya ilmiah,
(3) pengabdian kepada masyarakat maupun (4) kegiatan penunjang lainnya.
Evaluasi ini diwujudkan dalam Laporan Kinerja sesuai dengan Format F1 pada
Lampiran 1. Laporan format F1 didukung oleh semua bukti pendukung dan laporan
tahun sebelumnya. Kemudian diserahkan kepada asesor untuk dinilai dan
mendapatkan verifikasi. Asesor dalam menilai diharapkan memakai prinsip saling
asah, asih dan asuh. Dosen yang kurang perlu mendapatkan bimbingan dan
penjelasan dari asesor agar kinerja yang ditetapkan oleh peraturan perundang
undangan dapat tercapai tanpa mengurangi kaidah akademik yang menjadi amanah
undang‐undang
kepada asesor. Aktivitas ini tentu bisa mendorong peningkatan profesionalisme
dosen pada perdosenan tinggi yang bersangkutan. Apabila kegiatan evaluasi
kinerja ini diterapkan untuk semua dosen maka akan berimplikasi
kepadapeningkatan atmosfer akademik yang berkelanjutan sehingga bisa mendorong
terciptanyakemandirian perdosenan tinggi dalam meningkatkan daya saing bangsa.
7.
Periode
Evaluasi
Evaluasi
dilaksanakan secara periodik artinya evaluasi dilakukan pada setiap kurun waktu yang tetap. Hal ini untuk
menjaga akuntabilitas kepada pemangku kepentingan terkait dengan kinerja perdosenan tinggi. Masing‐masing
perdosenan tinggi dapat menentukan sendiri periode evaluasi bebankerja dosen,
perdosenan tinggi dapat melakukan dalam semesteran dan atau tahunan.Bahkan pada
keadaan khusus pemimpin perdosenan tinggi dapat melakukan evaluasi beban kerja
dosen setiap saat diperlukan. Namun demikian laporan kepada Direktur
JenderalPendidikan Tinggi harus dilakukan setiap tahun.
8.
Laporan Hasil
Evaluasi
Hasil
evaluasi beban kerja dosen dilaporkan dan diserahkan oleh pemimpin perdosenan
tinggi kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi setiap tahun. Direktur
Jenderal Pendidikan tinggi berwenang untuk memverikasi laporan ini. Pada perdosenan
tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat laporan dikoordinasikan oleh
Koordinator Perdosenan Tinggi Swasta kemudian diserahkan kepada Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi setiap tahun. Hasil evaluasi beban kerja dosen dapat
memberikan gambaran kinerja dosen. Oleh karena itu laporan evaluasi merupakan
salah satu bentuk akuntabilitas kinerja dosen kepada masyarakat.
Hasil
evaluasi ini dapat berimplikasi kepada keberlangsungan tunjangan prafesi
pendidik maupun tunjangan kehormatan dosen. Pemimpin perdosenan tinggi
berkewajiban memberikan teguran lisan, peringatan tertulis, penghentian
sementara maupun permanen tunjangan profesi pendidik maupun tunjangan
kehormatan terhadap dosen atau sanksi lainnya sesuai dengan kewenangan pemimpin
perdosenan tinggi apabila berdasarkan hasil evaluasi beban kerja tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan. Untuk perdosenan
tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat maka sanksi ini diberikan oleh
Koordinator Perdosenan Tinggi Swasta. Pemimpin perdosenan tinggi bertanggung
jawab penuh atas kebenaran laporan dan ketepatan waktu melaporkan.
9.
Pelaksana
Tugas Evaluasi
Tugas
untuk melaksanakan evaluasi merupakan tugas yang dilakukan terusmenerussebagai
bentuk akuntabilitas terhadap pemangku kepentingan, oleh karena itu sebaiknya
tidak dilakukan oleh suatu panitia ad hoc tetapi dilakukan oleh sebuah
struktur kelembagaanyang ada dan melekat pada sistem di perdosenan tinggi
tersebut misalnya Lembaga Penjaminan
Mutu, LP31 atau yang lain. Pelaksana tugas diharapkan selalu berkoordinasi
dengan jurusan, departemen, fakultas maupun program studi untuk memaksimalkan proses
kinerja dosen. Struktur organisasi pelaksana tugas dikembangkan sendiri oleh
masing‐masing
perdosenan tinggi danmerupakan bagian tak terpisah dari kelembagaan yang sudah
ada di perdosenan tinggi tersebut.
B.
Pengembangan
Profesi
1.
Pengembangan Profesi Dosen Secara Individual
Pengembangan
profesi dosen dapat pula dilaksanakan secara pribadi dan secara kelompok.
Secara pribadi, dosen tidak boleh berhenti untuk belajar. belajar. Prinsip
belajar seumur hidup merupakan prinsip belajar yang harus tetap digunakan oleh
dosen agar profesionalitas dosen tetap terjamin. Ada beberapa usaha yang bisa
dilakukan dosen untuk mengembangkan profesionalitasnya secara individual,
antara lain melalui penataran, belajar sendiri dengan menggunakan prinsip
belajar seumur hidup, serta melalui media masa.
2.
Pengembangan Profesi Dosen yang dilaksanakan dalam
Kelompok
Selain
dilakukan secara pribadi, pengembangan profesi juga dapat dilakukan secara
kelompok. Hal ini dapat dilakukan melalui organisasi profesi dosen. Yang
dimaksudkan dengan organisasi profesi ini ialah organisasi atau perkumpulan
yang memiliki ikatan-ikatan tertentu dari suatu jenis keahlian atau jabatan.
Melalui organisasi ini dosen dapat saling mengenal satu dengan yang lainnya dan
berdiskusi tentang bagaimana mengembangkan bahan kuliah atau juga melaksanakan
penelitian bersama terkait bidang keilmuan yang digelutinya. Adapun
bentuk-bentuk kegiatan peningkatan profesi melalui organisasi profesi antara
lain berupa diskusi kelompok, cerama ilmiah, karyawisata, bulletin organisasi
dan juga pendayagunaan waktu refleksi bersama untuk para dosen. Melalui
kelompok ini, dosen dapat belajar dari kelompoknya agar profesionalitasnya
semakin meningkat.
Pengembangan
professional (professional development) merupakan Pengembangan kemampuan
profesional yang akan memberikan kontribusi pada peningkatan
kemampuan/kompetensi dosen yang pada akhirnya akan berdampak pada makin
meningkatnya kualitas pembelajaran. Menurut Maggioli, (2004:5) Professional
development can be defined as a career-long process in whch educators fine-tune
their teaching to meet student needs . pengembangan profesinal dosen dapat
menjadikan proses pendidikan dan pembelajaran makin meningkat karena kemampuan
dan kompetensi dosen akan terus berkembang. King dan Newmann dalam Peter Cuttance (2001:125) berpendapat bahwa
dalam upaya meningkatkan proses pembelajaran, pengembangan profesional
dapat memberikan kontribusinya melalui hal-hal berikut :
·
improving the knowledge, skill and disposition of
individual staff member
·
organised, collective enterprise arising from a
strong, school-wide professional community and focused,
coherent and sustained staff and student learning
Oleh karena itu upaya yang dilakukan oleh dosen dalam
pengembangan profesionalnya sebagai pendidik merupakan faktor yang amat
penting, karena hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan kompetensi
pendidik/dosen, yang nantinya akan dapat memperbaiki secara terus menerus
proses pembelajaran.
Tuntutan profesionalisme dosen memerlukan upaya untuk
terus mengembangkan sikap profesional, melalui peningkatan kapasitas dosen agar
makin mampu mengembangkan profesinya dalam menjalankan tugarnya di sekolah.
Menurut Roland S. Barth (1990:49) ”The crux of
teachers’ professional growth, I feel, is the development of a capacity to
observe and analyze the consequences for students of different teaching
behaviour and materials, and to learn to make continous modification of
teaching on the basis of cues student convey” hal tersebut sejalan dengan tuntutan terhadap profesi, termasuk Profesi Dosen,
yang selalu menuntut upaya peningkatan terus menerus.
Pengembangan
profesional pendidik memerlukan peningkatan kompetensi khususnya dalam
menghadapi masalah pembelajaran di kelas, dan inovasi pembelajaran merupakan
hal yang penting dalam kompetensi tersebut. Inovasi Pembelajaran
(Depdiknas,2007:2) apabila dilaksanakan secara berkesinambungan akan berdampak
sebagai berikut : Kemampuan dalam menyelesaikan masalah pembelajaran akan
semakin meningkat Penyelesaian masalah pembelajaran melalui sebuah pengembangan
inovasi akan meningkatkan isi, masukan, proses, sarana/prasarana dan hasil
belajar peserta didik. Peningkatan kemampuan dalam pembelajaran tersebut
akhirnya akan berdampak pada peningkatan kepribadian dan keprofesionalan dosen
dan dosen untuk selalu berimprovisasi baik melalui adopsi, adaptasi, atau
kreasi dalam pembelajaran dan bermuara pada peningkatan kualitas lulusan dengan
demikian peran dosen dalam meningkatkan mutu pendidikan memerlukan sikap
inovatif, karena inovasi pendidikan sangat besar dan menentukan bagi
keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan melalui pengembangan inovasi
pembelajaran atau inovasi lainnya yang dapat menunjang pembelajaran, dan dengan
semakin meningkatnya kualitas pembelajaran harapan dan tujuan untuk dapat
menghasilkan lulusan yang makin berkualitas dan siap serta mampu dalam
menghadapi persaingan akan dapat terwujud.
Pengembangan
kinerja dosen dilihat dari sudut manajemen kinerja dapat dilakukan dengan dua
pendekatan yakni pendekatan berbasis kompetensi (Competency Based Performance
Management/CBPM) dan pendekatan berbasis kinerja (Performance Based Performance
Management/PBPM). Pendekatan berbasis kompetensi melakukan pengembangan kinerja
melalui peningkatan kemampuan pegawai/dosen untuk melakukan sesuatu pekerjaan
sesuai dengan peran dan tugasnya, sedangkan pendekatan berbasis kinerja
melakukan pengembangan pegawai/dosen melalui implementasi praktek-praktek
terbaik (best practice) dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan bidang
tugasnya.
A.
Implikasi
Pengembangan Kinerja Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Kinerja baik
secara individu maupun organisasi mempunyai peran yang besar dalam
keberlangsungan organisasi menjalankan peran dan tugasnya di masyarakat, setiap
organisasi perlu memperhatikan bagaimana upaya untuk terus meningkatkan kinerja
karyawannya agar dapat memberi kontribusi optimal bagi meningkatnya kinerja
organisasi. Dengan demikian perhatian pada kinerja harus menjadi fokus dan
semangat organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Peter F Drucker yang
dikutif oleh V.P. Michael (1989:30) “The focus of the organization must be
on performance. The first requirement of the spirit of organization is high
performance standard, for the group as well as for each individual”
Untuk itu
organisasi perlu memahami bagaimana kondisi kinerja pegawai untuk dapat
melakukan pengelolaan dan pengembangan bagi kepentingan organisasi, untuk itu
diperlukan suatu penilaian kinerja dalam rangka tersebut. Penilaian Kinerja
merupakan tahapan penting dalam manajemen kinerja sustu organisasi, dalam
tahapan ini dapat diperoleh informasi yang dapat dijadikan dasar bagi kebijakan
yang berkaitan dengan pengembangan Sumberdaya Manusia, baik itu kebijakan
penggajian, promosi, demosi dan sebagainya. Penilaian kinerja merupakan
suatu kegiatan guna menilai prilaku pegawai dalam pekerjaannya baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian
penilaian kinerja yang dikemukakan para pakar :
Tabel 5.5. Pendapat Para Pakar
tentang Penilaian kinerja
No
|
Pengertian k Penilaian inerja
|
Pendapat
|
1.
|
“Performance appraisal may be defined as a process
of arriving at judgement about an individual’s past or present performance
against the background of his/her environment and about his/her future potential
for an organization”,
|
Castetter
(1996:270)
|
2.
|
“evaluasi kinerja adalah proses
dimana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk
menjawab pertanyaan, seberapa baikah kinerja seseorang karyawan pada suatu
periode tertentu ?”
|
Robert
Bacal (2001:113)
|
3.
|
Penilaian pelaksanaan pekerjaan
(kinerja) adalah suatu sistem yang dugunakan untuk menilai dan
mengetahui sejauh mana seorang telah melaksanakan pekerjaan masing-masing
secara keseluruhan, lebih lanjut menyatakan bahwa
|
John Suprihanto (2000:1)
|
4.
|
Performance appraisal is a formal management
system that provides for the evaluation of the quality of individual’a
performance in an organizatioan
|
Dick Grote
(2002:1)
|
5.
|
Performance appraisal is the process of determining
how well individuals are meeting the work requirements of their job
|
Rothwell
(2005:193)
|
Dari beberapa pengertian di atas,
nampak bahwa penilaian kinerja pada dasarnya merupakan langkah yang diperlukan
untuk mengetahuai kondisi kinerja pegawai. Pengetahuan ini akan sangat membantu
dalam mengelola dan memanfaatkan pegawai dan mengembangkannya untuk pencapaian
tujuan organisasi. Dengan penilaian kinerja dapat diketahui bagaimana prestasi
kerja pegawai, kinerja yang terjadi, serta potensi-potensi yang mungkin dapat
dikembangkan bagi kepentingan organisasi.
Dengan demikian, penilaian Kinerja
atau penilaian prestasi kerja merupakan langkah penting dalam melihat
suatu kondisi organisasi serta orang-orang yang berada di dalamnya,
sehingga dapat diperoleh informasi penting bagi pengembangan organisasi
baik secara individual maupun kelembagaan. Secara umum perlunya penilaian
kinerja menurut Gary Dessler (1998:2) adalah untuk memberikan informasi tentang
dapat dilakukannya promosi dan penetapan gaji dan memberi peluang untuk
meninjau prilaku yang berhubungan dengan kinerja bawahan/pegawai. Adapun tujuan
dari penilaian kinerja Castetter (1996:277) menyatakan sebagai berikut : “most of the
purpose of evaluation can be grouped into the five following categories:
(a)
determine personnel employment status
(b)
implement personnel action
(c)
improve individual performance
(d)
achieve organizational goals, and
(e)
translate the authority system into control that regulate performance
Mengetahui kondisi yang ada dari
kinerja pegawai serta bagaimana meningkatkan kinerja mereka merupakan hal penting
dalam upaya meningkatkan kemampuan organisasi mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, dengan adanya penilaian kinerja, manajemen organisasi dapat
mengelola Sumber Daya manusia secara efektif dan efisien, serta dapat
ditentukan pengembangan SDM yang bagaimna yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas kinerja pegawai. Sementara
itu menurut Ahmad S Ruky (2001:20-21) penilaian prestasi kerja
mempunyai tujuan :
1. Meningkatkan
prestasi kerja karyawan baik secara individu maupun sebagai kelompok.
2. Mendorong
kinerja Sumber Daya Manusia secara keseluruhan yang direfleksikan dalam
kenaikan produktivitas.
3. Merangsang
minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil kerja dan
prestasi kerja.
4. Membantu
perusahaan untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan karyawan
yang lebih tepat guna.
5. Menyediakan
alat/sarana untuk membandingkan prestasi
kerja pegawai dengan gajinya atau imbalannya
6. Memberikan
kesempatan pada pegawai untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaan atau
hal-hal yang ada kaitannya
lebih lanjut menurut Wayne F.
Cascio (dalam Sahlan Asnawi,1999:145) sebagaimana dikutif oleh
Sahlan Asnawi penilaian Kinerja bertujuan :
1. Sebagai
dasar pemberian reward and punishment
2. Sebagai kriteria dalam riset personil
3. Sebagai prediktor
4. Sebagai dasar untuk membantu merumuskan tujuan program
training
5. Sebagai feedback bagi karyawan itu sendiri
6. Sebagai bahan kaji bagi organisasi dan pengembangannya
dengan demikian penilaian kinerja
dalam setiap organisasi mutlak diperlukan, karena akan mendorong
peningkatan kualitas organisasi serta unsur-unsur di dalam organisasi yang
bersangkutan. Evaluasi atau penilaian Kinerja dapat menjadi landasan penting
bagi upaya meningkatkan produktivitas suatu organisasi serta dapat menjadi umpan
balik atas kinerja untuk melihat hubungannya dengan tujuan dan sasaran
sebagaimana dikemukakan oleh para akhli dari LAN bahwa evaluasi
kinerja merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja di masa lalu yang
berguna untuk meningkatkan produktivitas di masa mendatang. Sebagai suatu
proses yang berkelanjutan, evaluasi kinerja menyediakan informasi mengenai
kinerja dalam hubungannya terhadap tujuan dan sasaran (2001:6) dengan
memahami uraian di atas nampak bahwa masalah kinerja merupakan hal yang sangat
penting untuk mendapat perhatian sungguh-sungguh dalam setiap organisasi. Untuk
itu posisi penilaian kinerja menjadi sangat penting sebagai upaya untuk
memahami kondisi kinerja aktual dalam perbandingannya dengan kinerja seharusnya
yang diharapkan oleh suatu organisasi, dan untuk melaksanakan penilaian kinerja
dengan baik diperlukan persyaratan tertentu dimana Cascio (dalam Glueck,
1982:393) mengemukakan delapan persyaratan agar evaluasi kinerja dapat berhasil
dengan baik yaitu :
1. Appraisal
should be based on analysis of job requirements and performance standards
2. Performance
standards must be behaviourally based
3. They must be
understood by employees
4. Each
performance dimension should contain only homogeneous activities so as to
minimize overlap among dimension
5. Abstract
trait names should be avoided scale
anchors should be brief and logically consistent
6. The system
must be validated
7. A mechanism
for employee appeal must be provided
Suatu hal yang sangat penting dalam
penilaian kinerja adalah obyektivitas, artinya penilaian tidak boleh
didasarkan pada suka tidak suka melainkan harus mengacu pada suatu yang
obyektif dan baku, untuk itu diperlukan penentuan standar atau
ukuran-ukuran kinerja yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap
kinerja. Dalam mewujudkan
kinerja yang baik diperlukan evaluasi, baik evaluasi proses ataupun evaluasi
hasil akhir, dan agar penilaian kinerja itu dapat mencapai tujuannya, maka
dalam pencapaian tersebut diperlukan pedoman-pedoman yang merupakan dasar bagi
penilaian agar diperoleh tingkat obyektifitas yang baik. Dengan demikian untuk
mengetahui kualitas kinerja seorang pegawai atau karyawan diperlukan
suatu performance appraisal atau penilaian kinerja, dan hal ini dapat dilakukan
bila ada standar kinerja sebagai dasar agar dapat diketahui perbandingan antara
kinerja aktual dengan kinerja yang ideal (seharusnya). Standar kinerja
dimaksudkan untuk menjaga agar penilaian kinerja yang dulakukan dapat bersifat
objektif. Lebih jauh agar obyektivitas dalam
penilaian kinerja dapat tercipta, maka perlu dihindari beberapa kesukaran dalam
pelaksanaannya yaitu :
1. Kekurangan standar
2. Standar yang tidak relevan atau subyektif
3. Standar yang tidak realistis
4. Ukuran yang jelek atas kinerja
5. Kesalahan menilai
6. Umpan balik yang jelek terhadap karyawan
7. Komunikasi yang negatif
8. Kegagalan untuk menerapkan data evaluasi (Gary Dessler.
1998:4)
Apabila masalah-masalah seperti tersebut di atas dapat
dihindari, maka pelaksanaan penilaian kinerja dapat dipertanggung jawabkan
dalam segi keobyektifannya, serta tujuan dilaksanakannya penilaian kinerja
dapat tercapai secara optimal sehingga dapat diperoleh manfaat yang besar bagi
peningkatan kinerja dan produktivitas organisasi.
Pengembangan Kinerja
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa
manajemen kinerja merupakan suatu upaya untuk mencapai peningktan yang terus
menerus dalam kinerja baik kinerja individu pegawai maupun kinerja organisasi,
maka upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja menjadi hal yang amat
menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi. Proses manajemen kinerja pada akhirnya harus dapat
membantu organisasi dalam mengidentifikasi kesenjangan kinerja antara kinerja
aktual dengan kinerja yang diharapkan sesuai rencana dan target kinerja yang
telah ditentukan. Disamping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan
peran organisasi serta perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat sebagai dampak dari globalisasi dewasa ini, jelas memerlukan respon
organisasi untuk secara terus menerus melakukan peninjauan akan rencana dan
target kinerjanya, agar respons organisasi terhadap semua itu akan tepat dan
efektif, sehingga peran organisasi akan tetap dirasakan secara lebih baik dan
meningkat oleh masyarakat.
Dengan demikian, maka
diperlukan upaya organisasi untuk terus menerus mengembangkan kinerja pegawai
agar dapat mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.
Pengembangan kinerja pegawai ini harus merupakan suatu keterkaitan dengan
tujuan dan strategi organisasi. Oleh karena itu pengembangan dan peningkatan
kinerja pegawai perlu dilakukan dalam bingkai organisasi yang dapat
mengkondisikan dan mendorong terjadinya proses pengembangan dan peningkatan
kinerja individu pegawai. Pengembangan kinerja individu pegawai harus merupakan
penjabaran dari rencana strategi organisasi agar arah dan tujuan serta target
kinerja yang ingin dicapai dan dikembangkan menjadi bagian yang terintegrasi
dengan tujuan organisasi.
Pengembangan Kinerja
Sumber daya Manusia dalam organisasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan,
Zwell (2000:287) berpendapat bahwa siklus proses pengembangan kinerja terdiri
dari tiga tahapan yaitu tahap perencanaan kinerja, tahap eksekusi yang mencakup
monitoring perkembangan, coaching, supervisi dan penyesuaian rencana, dan tahap
penilaian atas hasil kerja, sementara itu menurut Rampersad (2003:144)
Pengembangan merupakan suatu siklus yang terdiri dari Result Planning,
Coaching, Appraisal, dan Job-oriented Competence Development, yang bila digambarkan
nampak sebagai berikut :
Job-oriented Competence
Development
|
Appraisal
|
Coaching
|
Result Planning
|
E.
Gambar
5.4. Siklus Pengembangan
(Sumber:
Rampersad 2003)
Perencanan hasil berkaitan dengan kriteria persetujuan
hasil berdasarkan tujuan kinerja dan pemilihan kompetensi yang mendukung pada
kinerja tersbut. Coaching adalah kerjasama antara pimpinan dan pegawai untu
mendiskusikan kemajuan pegawai, melakukan bimbingan individual, pengujian dan
penyesuaian persetujuan, serta pemberian umpan balik. Penilaian dimaksudkan
untuk melihat apakan seluruh kesepakatan terpenuhi. Pengembangan kompetensi
yang berorientasi pekerjaan adalah tahapan dimana pengembangan kompetensi
pegawai dilakuakkan melalui berbagai kegiatan seperti kursus-kursus atau
pelatihan dalam pekerjaan atau kegiatan lain yang merupakan program
pengembangan pegawai.
Dengan melihat pada pentingnya pengembangan pegawai
bagi peningkatan kinerja organisasi secara keseluruhan, maka upaya untuk
mengembangkan kinerja pegawai secara individual perlu menjadi bagian dari
strategi organisasi, oleh karena itu aplikasi dari manajemen kinerja dalam
organisasi harus dapat memungkinkan kondusifitas organisasi bagi terjadinya
pengembangan yang berkesinambungan. Menurut Enos (2000:54) titik awal (starting
point) dari upaya pengembangan dan peningkatan kinerja adalah perlunya
menjadikan organisasi sebagai pembelajar (Learning Organization), pentingnya
pembelajaran dalam konteks pengembangan dan peningkatan kinerja juga
dikemukakan oleh Rampersad (2003) dalam bukunya Total Performance Scorecard
(TPS) yang menyatakan bahwa terdapat tiga komponen penting dalam TPS yaitu
Perbaikan, Pengembangan dan Pembelajaran. Ketiga komponen tersebut amat penting
dalam upaya mendorong pada terwujudnya kinerja organisasi dan kinerja individu
yang tinggi, yang berarti bahwa organisasi perlu mempunyai orientasi pada
pembelajaran yang tinggi, karena baik peningkatan maupun pengembangan semuanya
melibatkan aktivitas belajar.
Dengan demikian maka pengembangan organisasi menjadi
organisasi pembelajar dapat mendorong pada pengembangan kinerja baik secara
individu maupun organisasi. Organisasi pembelajar adalah organisasi yang
seluruh anggotanya mempunyai orientasi pada pembelajaran sehingga pembelajaran
terjadi dari mulai tingkatan individu sampai ke tingkatan organisasi. Dengan
terwujudnya organisasi pembelajar, maka upaya pengembangan dan perbaikan kinerja
individu pegawai akan menjadi bagian dari sikap dan prilaku pegawai dalam
menjalankan tugasnya, karena semua anggota organisasi menjadikan belajar
sebagai bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan peran dan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya dalam organisasi.
Terwujudnya organisasi pembelajar pada dasarnya
merupakan kondisi yang menjadi prasarat bagi pengembangan dan peningkatan
kinerja individu pegawai, sebab peran individu itu sendiri di dalamnya akan
juga menentukan pada keberhasilannya. Menurut Enos (2000:131) peran individu
pegawai dalam pengembangan kinerjanya amat penting untuk diperhatikan, sebab
setiap program peningkatan kinerja hendaknya mendorong upaya untuk
mengembangkan individu, sehingga individu akan menyadari tentang perlunya
pengembangan kinerjanya dan tentang apa dan bagaimana mengembangkan dan
meningkatkannya. Disamping itu perhatian pada individu pegawai juga perlu agar
dapat menghubungkan antara tujuan individu pegawai dengan tujuan organisasi,
dengan keterhubungan ini, individu pegawai akan makin terdorong untuk
mengembangkan dan meningkatkan kinerjanya.
Pengembangan kinerja individu yang efektif
memerlukan sistem manajemen kinerja yang yang tepat, secara umum, Enos
(2000:136) mengemukakan Garis-garis besar sistem manajemen kinerja yang
dirancang dengan baik (well-designed performance management system) yang
meliputi : 1) pernyataan yang jelas akan tujuan organisasi/tim yang
memungkinkan kinerja individu terarah pada tujuan serta sebagai dasar evaluasi
kinerja; 2) identifikasi yang jelas akan kompetensi utama yang diperlukan oleh
pekerjaan; 3) manajemen kinerja hendaknya menggunakan metode kolaborasi dalam
mengembangkan kinerja individu serta menentukan indikator kinerja kunci; 4)
melakukan feedback atau umpan balik secara teratur atas kinerja, dan 5)
organisasi hendaknya menyediakan kesempatan pelatihan dan pengembangan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pegawai yang dapat mendukung pada
tercapainya kinerja tingkat tinggi (high-level performance) Upaya untuk
mengembangkan dan meningkatkan kinerja pegawai pada dasarnya merupakan
suatu kebutuhan organisasi yang tidak pernah berakhir, ini disebabkan
pengembangan dan peningkatan kinerja tidak hanya dilakukan jika terjadi
kesenjangan antara kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan, tapi juga
pengembangan dan peningkatan tersebut harus tetap dilakukan meskipun tidak
terjadi kesenjangan, sebab perubahan lingkungan eksternal organisasi yang
sangat cepat dewasa ini akan mendorong pada meningkatnya tuntutan yang lebih
tinggi pada organisasi.
Oleh karena itu, diperlukan Strategi pengembangan dan peningkatan
kinerja pegawai yang berkesinambungan, Pendidikan dan Pelatihan nampaknya perlu
mendapat perhatian dalam mengembangkan dan meningkatkan kinerja, namun hal yang
akan menentukan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan adalah bagaimana
organisasi melihat dan memperlakukan kegiatan pembelajaran dalam
organisasi, oleh karena itu strategi pengembangan organisasi ke arah
organisasi pembelajar (Learning Organization) menjadi amat penting agar
pengembangan dan peningkatan kinerja pegawai menjadi suatu bagian yang tak
terpisahkan dari organisasi. Kondisi organisasi yang demikian akan dapat
memberikan dorongan untuk terjadinya proses pengembangan kinerja pegawai yang
efektif, karena kondisi tersebut merupakan salah satu fondasi bagi pengembangan
kinerja (Zwell, 2000:287; Ivancevich, 2007:401).
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pengembangan
kinerja dosen, dalam berbagai bentuk, harus selalu diupayakan. Hal itu
mengingat penting dalam usaha peraihan produktivitas dosen yang lebih baik.
Pengembangan dosen dapat difokuskan dalam lima bnetuk pengembangan. Namundalam
setiap implementasi bentuk pengembangan di PTS membutuhkan pemikiran yang lebih
terintegrasi antara pertimbangan sosiologis, psikologis dan financing,
hal ini disebabkan terdapatnya masalah-masalah struktural dalam PTS yang
bersifat spesifik.
Kajian-kajian
yang lebih bersifat kasuistis yang terjadi di Unpas dalam hal perbaikan kinerja
dosen perlu dilakukan dalam forum yang lebih relevan dan dengan teknis kajian
yang lebih holistik.
8
DAFTAR PUSTAKA
Kependidikan, Jogjakarta, 1996.
Lemlit Unpas, "Kinerja Dosen PTS", makalah
dalam simposium Nasional
Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, “Ilmu dalam aplikasi
pendidikan”, Jakarta, 2007.
Wahjoetomo, "Manajemen Perdosenan Tinggi",
Malang, 1996.
Baca Selanjutnya :
Loading Post...
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsKemana aja.. kok diam aja nei???
Replygak ada aktifitas...
lagi mudik ya?
ConversionConversion EmoticonEmoticon